Tentang Kerancuan Produk Hukum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Oleh: Fachrul Razi
TRANSFORMASINUSA.COM | Jakarta - Gegap gempita pelantikan Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI ke-14 Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024 berlalu sudah. Bulan madu pelantikan itu diikuti dengan pelantikan para menteri, kepala badan dan berbagai pejabat negara lainnya pada 21 dan 22 Oktober. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tersebut didasarkan atas Keputusan KPU tanggal 24 April 2024. Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR-RI) kemudian mengambil sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden (pasal 9 UUD NRI 1945). Lalu di hadapan Pimpinan MPR 2024-2029, Presiden dan Wakil Presiden 2024-29 menandatangani berita acara. Tapi berita acara apa dan bagaimana status hukumnya?
Menurut pasal 3 ayat (2) UUD NRI 1945 (UUD 1945 yang sudah diamendemen empat kali), MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewenangan ini pada 20 Oktober kemarin sudah dilaksanakan. Namun kenapa produk hukum MPR dalam menjalankan amanat konstitusi adalah berita acara. Memang sidang pleno KPU menghasilkan berita acara penetapan pemenang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, lantas MPR juga cukup membuat berita acara pelantikan sebagai produk hukum MPR? KPU menuangkan berita acara hasil plenonya dalam produk hukum Keputusan KPU. Sementara Sidang Paripurna MPR menuang berita acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dalam produk hukum apa?
Merujuk pasal 184 ayat (1) KUHAP juncto Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 ada lima jenis alat bukti, salah satunya adalah surat. Dalam pasal 187 huruf a, surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan sebagai berita acara dan surat lainnya dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
Maka berita acara Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 504 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 adalah alat bukti hukum yang dituangkan dalam suatu surat pernyataan para pihak sebagai pengesahan terhadap kejadian, peristiwa, temuan terkonfirmasi, terverifikasi dan tervalidasi, atau merupakan perubahan/peralihan status dan sebagainya.
Kenapa produk hukum MPR dalam melantik pemegang kekuasaan pemerintahan, yakni Presiden adalah berita acara? Ini disebabkan oleh MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, tapi hanya lembaga tinggi negara. Lagi, Indonesia menganut sistem presidensiil penuh sehingga kekuasaan pemerintahan berada di tangan Presiden. MPR bukan lagi penjelmaan kedaulatan rakyat, tapi hanya gabungan anggota DPR dan anggota DPD (pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945/UUD 2002).
Jadi walaupun antara MPR, DPR, DPD, dan Presiden sama kedudukannya sebagai lembaga negara, namun dengan merujuk ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, Presiden jelas pemegang kekuasaan pemerintahan. Ketentuan ini secara politik praksis menempatkan Presiden berada di atas MPR, DPR, dan DPD.
Jika mengkaji pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Per-UU-an, maka di bawah UUD NRI 1945 adalah TAP MPR. Penjelasannya memberi petunjuk bahwa TAP yang posisinya di bawah UUD NRI 1945 adalah TAP yang masih berlaku dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR-RI Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Setelah itu, MPR tidak berhak lagi menerbitkan TAP. Maka berdasarkan hierarki peraturan per-UU-an, mana lebih tinggi antara Keputusan Presiden (Kepres) dan Keputusan KPU? Ini dipertanyakan karena pelantikan DPR, DPD dan Ketua MA berdasarkan Kepres, sementara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden didasarkan atas Berita Acara MPR yang materi muatannya adalah Keputusan KPU. Ini merupakan inti dari Sidang Paripurna MPR dalam pelantikan 20 Oktober kemarin. Pelantikan ini tidak disaksikan oleh Mahkamah Agung (MA). Sedangkan pelantikan Ketua MA yang didasarkan atas Kepres disaksikan oleh Presiden.
Memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, maka Keputusan KPU sederajat dengan Keputusan Menteri. Lalu, bagaimana mungkin melantik pemegang kekuasaan pemerintahan (Presiden) melalui Sidang Paripurna MPR dengan produk hukum Berita Acara MPR berbasis Keputusan KPU, sementara Keputusan KPU berkedudukan di bawah UU dan Kepres? Atau, apakah Keputusan KPU sederajat dengan Kepres?
Masalah ini patut menjadi perhatian kita, terutama karena sejak UUD NRI 1945 berlaku, berlanjut ke penerapan pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, NKRI tidak mempunyai struktur atau skema kekuasaan pemerintahan. Hierarki peraturan per-UU-an sepantasnya menjadi rujukan struktur kekuasaan itu namun mustahil dibuat disebabkan oleh Indonesia sudah menganut system presidensiil penuh. Inilah salah satu produk kerancuan amendemen empat kali UUD 1945 yang harus kita atasi. (*)
_Penulis adalah Senator DPD RI Periode 2014-2024_