NEWS BREAKING NEWS
Live
wb_sunny

Breaking News

NEGARA HARUS DI ATAS PARTAI

NEGARA HARUS DI ATAS PARTAI

Oleh Legisan Samtafsir 


TRANSFORMASINUSA.COM | "Di atas partai, bukan petugas partai. Wawasan kebangsaan, bukan wawasan kepartaian. Loyalitas pada negara, bukan loyalitas pada partai. Untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan partai. Memperkuat negara, bukan memperkuat partai".


Itu yang seharusnya dilaksanakan dan diajarkan oleh partai kepada semua kadernya. Tetapi itu pula yang dirasakan hilang saat ini di partai-partai. Apa yang terjadi sebaliknya, kader-kader menjadi petugas partai, membela keselamatan partai, mengutamakan kepentingan partai, menjalankan agenda partai, memenangkan dan membesarkan partai. Di mana negara? Mungkin sebagai alat-nya kader untuk membesarkan partai. Kader-kader yang menjadi pejabat negara, menjadi petugas partai. Benar-benar salah kaprah.


Krisis Idealisme Partai


Siapa pemilik negara? Rakyat. Maka rakyatlah yang seharusnya dipertimbangkan oleh partai. Rakyatlah yang didahulukan oleh partai, rakyatlah yang dilayani, dibela dan dilindungi. Rakyatlah yang menjadi konstituen dan klien utama partai. Maka sudah seharusnya partai-partai lantang membawa dan memperjuangkan aspirasi rakyat. 


Tapi apa mau dikata. Rakyat rempang terusir dari kampungnya, partai-partai lemah bersuara. Nelayan-nelayan terusir dari tanahnya di kawasan PIK2, partai-partai nyaris diam sejuta bahasa. Demo buruh berjilid-jilid menolak omnibuslaw, partai-partai (baca: fraksi-fraksi di DPR) pura-pura budeg, malah rapat kilat untuk mengesahkannya. Giliran MK membuat keputusan nomor 60 dan 70, buru-buru para partai itu rapat kilat untuk mengesahkan RUU Pilkada. Dan setelah didemo oleh mahasiswa agar pengesahan itu dibatalkan, lalu partai-partai berdiri bak pahlawan 'kami mendukung MK'.


Itulah jenis partai yang miskin kenegarawanan. Partai yang kehilangan elan vital-nya untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Partai yang dijalankan tidak di atas idealisme rakyat. Partai yang telah berubah menjadi 'musuh' bagi rakyat. Betapa bahayanya, jika pilar bernegara (demokrasi) yang satu ini, telah transaksional untuk membela keselamatan dirinya daripada keselamatan rakyat. Partai hanya butuh rakyat ketika pencoblosan, dan setelahnya terserah orang partai. Padahal suara rakyat itu adalah amanah. Suara rakyat adalah jeritan tangis rakyat yang menitipkan harapannya agar partai-partai itu berjuang di tingkat negara untuk menghela air mata derita mereka.


Kini partai-partai itu tampak jelas bukan lagi menjadi pemanggul amanah derita rakyat, tapi sebagai jalan karir bagi kadernya, untuk meraih jabatan di pemerintahan dan semua ikutannya. Pragmatisme dan oportunisme telah menggantikan idealisme rakyat. Pembelaan untuk rakyat, hanya dilakukan apabila itu berdampak untuk membesarkan partai.


Negara Harus di Atas Partai


Karena partai adalah pilar demokrasi sebagai penyalur aspirasi rakyat, untuk dititipkan kepada dan dijalankan oleh pemerintah sebagai yang menjalankan tugas negara, maka partai hanya jalan untuk mengantarkan kadernya di tingkat negara. Tetapi begitu mereka berdiri di atas negara (yaitu menjadi pejabat negara, yang dibayar dengan uang APBN/Rakyat, apakah sebagai eksekutif, legistaltif, yudikatif, atau apapun yang dibiayai oleh negara), maka haramlah bagi mereka bekerja dan mengabdi untuk dan atas nama partai. Mereka harus bekerja untuk dan atas nama seluruh rakyat.


Sangat menarik orasi Kemala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat, saat menerima pencalonan presiden dari Partai Demokrat di Chicago, Amerika Serikat pada hari Kamis (22/8): 


"Sepanjang karir saya, saya hanya mempunyai satu klien, yaitu rakyat; dan atas nama rakyat tanpa memandang partai, ras, jenis kelamin, saya menerima pencalonan Anda untuk menjadi Presiden Amerika; dan izinkan saya mengatakan, saya berjanji untuk menjadi presiden bagi seluruh warga Amerika. Anda dapat mempercayai saya untuk menempatkan negara di atas partai dan diri saya sendiri; memegang teguh prinsip-prinsip dasar Amerika, mulai dari supremasi hukum, pemilu yang bebas dan adil, hingga kelak transfer kekuasaan secara damai".


Kontras dengan Kamala, lihat pernyataan Irma Suryani, politisi Partai Nasdem, di salahsatu acara talkshow Karni Ilyas, yang menegaskan betapa buruknya kinerja partai saat ini, yang menghasilkan anggota parlemen yang cuma bisa jadi follower:


Bayangin ya, ini partai politik ini, yang penting bagi partai politik hari ini dapat kursi, bisa masuk parlemen. Mau pecandu, mau koruptor, mau yang saya udah nggak tahu lagi deh, yang punya otak, nggak punya otak, masuk semua yang penting bisa bawa kursi. Hancur negara ini kalau yang namanya parlemennya seperti ini. Kan begitu, perbaiki partai politiknya, perbaiki pengkaderisasinya, pilih benar-benar anggota yang benar-benar bagus. Ada aktivis yang bagus, punya otak, mau membangun bangsa ini, nggak punya finansial. Ya dorong dong, bantu. Jangan malah anaknya si A, pengusaha si B, masuk semua ke DPR. Nanti sampai di dalam DPR, apa yang terjadi? Coba jadi follower". 


Naif sekali, menyedihkan sekali...!!


Berpihaklah pada Rakyat


Keyakinan dan prinsip politisi seperti itu, menjadi langka dan mahal saat ini di Indonesia. Maka moment pilkada serentak 2024 ini, seharusnya menjadi ajang semua elit dan politisi di Indonesia, untuk menguatkan kembali komitmen bernegara sebagai jalan melayani rakyat. 


Berpartai hanyalah cara (washilah) untuk menjalankan idealisme negara, yaitu melayani rakyat (publik). Partai hanyalah alat. Maka wawasan yang harus diperkuat di setiap partai adalah wawasan kebangsaan dan kenegarawanan, bukan wawasan kepartaian. Kepentingan yang diperjuangkan di tubuh partai adalah kepentingan negara dan rakyat, bukan kepentingan partai an sich. Fa'tabiru ya ulil albab.

TRANSFORMASINUSA NEWS

TNC GROUP CHATT ME

Kritik dan Sarang bisa melalui kolom dibawah ini,Terima Kasih